Saturday, February 16, 2008

My Response on 'Dorce Show'

“Dorce Show” yang kukirim ke milis kesayanganku—RumahKitaBersama—telah menghasilkan beberapa sambutan hangat dari para member. Salah duanya dari mbak Icha dan mbak Angel. Dalam postingan ini, aku sertakan komentar dari mereka berdua, dan jawabanku.
Happy reading ...

Icha:
Dorce Show?
Aku suka menonton kalau gak ada kerjaan. Isi Dorce show yang kamu bahas aku setuju dengan kamu. Persoalannya media tv dalam hal Trans TV tidak punya misi apa-apa selain sekedar menjadikan acara konyol-konyolan saja. Rasanya hampir semua media tv
tidak peka. Tinggal kita yang menonton jadi sewot dan marah-marah. Rugi sendirilah kita.

Nana:
Seperti yang kutulis di postingan sebelum ini aku memang jarang nonton TV mbak, dan aku setuju dengan mbak Icha bahwa banyak program di televisi (mungkin tidak hanya Trans TV) yang acaranya tidak punya misi apa-apa, kecuali entertaining, giving fun, atau bahkan malah membodohi masyarakat (contoh sinetron-sinetron sampah). Namun untuk acara Dorce Show, aku tidak melihatnya hanya sekedar acara konyol-konyolan belaka. (Beda dengan “Empat Mata” yang menurutku lebih jelas terlihat sebagai acara konyol semata, yang dibalut dengan acara talkshow.) sebagai seorang feminis (yang mungkin saja karena terlalu sensitif), pada acara-acara tertentu, terlihat kekurangpekaan Dorce. Well, tentu saja terlalu jauh memang untuk membandingkan acara lokal satu ini dengan Oprah Winfrey Show (cuma persamaan penggunaan kata SHOW doang nih. LOL).
Temanku yang sama bercerita satu kali dalam tayangan Dorce Show dikisahkan tentang seorang perempuan—mungkin berusia sekitar 30-an—yang memiliki seorang ibu yang katanya genit dan doyan laki-laki. Bahkan menantu sendiri pun diembatnya. Sang cucu yang sering melihat sang ayah dengan sang nenek bepergian bersama, bertanya kepada ibunya, “Mama, kenapa Papa sering pergi bersama Nenek?” dan si perempuan ini tidak menjawab apa-apa.
Sama seperti kasus yang kuceritakan di postingan sebelum ini, Dorce pun bertanya kepada perempuan tersebut apakah dia akan menceraikan sang suami yang jelas-jelas mengkhianatinya di depan matanya. Si perempuan mengatakan “Tidak”. Acara tanya jawab berhenti di sini. Tidak ada kelanjutan pertanyaan (atau interogasi) mengapa si perempuan tidak bersedia menceraikan sang suami; misal apakah dia tergantung secara finansial kepada sang suami; atau apakah seperti yang biasa terjadi di kalangan kaum pemuja perkawinan bahwa lebih baik bobrok di dalam hati daripada menjadi seorang janda yang konotasinya masih sangat negatif di kultur negara kita; atau apakah karena dia cinta mati kepada sang suami; atau apakah karena doktrin agama yang dia terima bulat-bulat bahwa perempuan yang sengsara hidupnya di dunia ini—karena dizholimi—memiliki kunci surga.
Si perempuan tersebut juga tidak berani menegur sang Ibu, mungkin karena menelan begitu saja hadits yang mengatakan bahwa surga ada di telapak kaki ibu.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keadaan seperti itu akan “belajar”. Misal: jika si perempuan memiliki anak laki-laki, dia akan meniru ayahnya, karena toh ibunya diam saja? Laki-laki memang dilahirkan untuk menjadi berkuasa, seperti apa yang dilakukan oleh ayahnya? Misal jika si perempuan memiliki anak perempuan, dia akan melihat ibunya sebagai role model dan kemungkinan dia akan mengadopsi apa yang dilihatnya; dia akan belajar, “A good woman is like my mom ...” tanpa mengetahui hak-haknya sebagai manusia.

Icha:
Status Dorce dianggap tak penitng karena dia seleb. Balutan seleb ini mengaburkan pandangan dan pemaham orang terhadap si Dorce. Apalagi Dorce selalu mengemukakan dalil-dalil agama dan bagi Dorce orang yang mempersoalkan statusnya akan memberi keuntungan bagi dirinya. Karena Dorce yakin jika dia dizolimi, Dorce akan mendapat banyak berkat.

Nana:
Betul banget mbak. Status Dorce yang seorang public figure, apalagi dia sering tampil dengan mengenakan penutup kepala dan mengemukakan segala hal yang berbau agama, orang-orang akan mudah jatuh simpati kepadanya.
Tak lama sebelum ini Dorce menunaikan ibadah Umroh. Setelah dia pulang, kadang-kadang terlihat dia “hanya” mengenakan gaun sepanjang lutut—tidak menutup sampai mata kaki—itu pun menjadi bahan gosip. Sama dengan celebrity perempuan lain yang setelah menunaikan ibadah Umroh maupun Haji, justru mengenakan baju yang “lebih terbuka”. Hal ini menunjukkan, ke’selebriti’an Dorce telah membuat orang “lupa” bahwa dia adalah seorang transseksual.

Icha:
Bukan karena percaya apa yang Dorce yakini, aku memilih tidak peduli dan tidak membicarakannya.

Nana:
Seorang rekan kerjaku—yang akhir-akhir ini terlihat begitu peduli dengan KDRT (karena dia justru dituding oleh beberapa kalangan bahwa dia telah melakukan “kekerasan” psikis kepada suaminya)—kadang-kadang mengajakku berdiskusi tentang hal ini. Kebetulan saja jika Dorce Show menjadi salah satu topik diskusi kita, yang kemudian kuolah menjadi tulisan untuk blog.

Icha:
Mengenai nasib para perempuan yang masih banyak mengalami kekerasan di lingkungannya terutama dari suami-suaminya. Itu menjadi salah satu agenda kita untuk terus urun rembuk dan mensuarakan protes pada kondisi tersebut.
Kita harus terus mensuarakan hak dasar setiap manusia terutama kaum perempuan yang sebenarnya memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam hal memilih dan menentukan kehidupannya (Kebahagiaannya) sendiri.

Nana:
Betul banget mbak. Thanks a lot for the comment. 

==================

Angel:
Wanita adalah manusia, sebagai manusia wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria di segala bidang, sesuai dengan peran dan kondisinya.

Nana:
Kadang-kadang mbak Angel, “peran” dan “kondisi” ini tidak sama di satu daerah dengan kultur tertentu dengan daerah lain yang memiliki kultur yang berbeda. Hal inilah yang sering dijadikan perhatian utama para feminis, atau para pejuang kesetaraan gender.

Angel:
Wanita dan pria, masing2 mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri2 yang seharusnya bisa saling memperbaiki dan saling mengisi.

Nana:
Iya, no matter what kondisi biologis laki-laki dan perempuan yang berbeda akan membuat mereka menjadi berbeda, sehingga memang bisa dikatakan bahwa mereka bisa saling mengisi.

Angel:
Sering kita lihat kemunafikan sesorang dalam hubungannya "Memperjuangkan hak2nya sebagi manusia". Dalam hal kasus Dorce, hak yang diperjuangkan sebagai manusia yang memilih jalan hidupnya dengan cara berganti kelamin, seharusnya Dorce sadar, sewaktu dia berganti kelamin, hal semacam itu di Indonesia belumlah umum. Harusnya Dorce sadar, jika dia akhirnya banyak dikecam orang, itu memang resikonya sendiri bukan? Jadi tidaklah tepat jika dia mengatakan bahwa dia di "Zalomi" oleh orang2. Jadi, jika ada banyak orang yang mengecamnya, itu adalah resiko atas keputusannya. Berani ambil
resiko ya berani menanggung resiko kan?

Nana:
Betul, dalam hal ini aku setuju, itu adalah resiko yang harus diterima oleh seorang Dorce, apalagi kebetulan dia adalah seorang celebrity. Seperti tatkala Dede Oetomo dengan berani menuliskan kata GAY dalam KTP untuk bagian jenis kelamin, aku yakin dia telah siap dengan segala resikonya. Namun tatkala seandainya dia mengeluh, orang-orang tak juga memahaminya, ya kita dengerin aja toh keluhannya itu? Atau tidak usah didengarkanlah. (Aku belum pernah membaca tulisan dia yang ‘mengeluh’ setelah dengan berani dan pede mengaku kepada publik tentang ke-GAY-annya. Yang sering dia tulis adalah perjalanan panjangnya untuk ‘berdamai’ dengan apa yang ada di dalam dirinya.

Angel:
Sebagai presenter, harusnya Dorce berdiri di tengah2, bukan memihak kepada apapun keputusan orang lain. Jika si ibu yang di interview tersebut tidak ingin "bercerai" itu adalah haknya untuk tidak bercerai dan menanggung sendiri akibat2nya. Kita tidak bisa menilai bahwa ibu itu HARUS bercerai, karena mungkin ibu tersebut mempunyai pemikiran sendiri yang membuatnya mengambil keputusan untuk "TIDAK BERCERAI" dan itu adalah haknya pribadi sesuai dengan kondisinya sendiri.

Nana:
Setuju. Karena terus terang yang menjadi masalah adalah applause yang dia berikan kepada perempuan-perempuan yang dia wawancarai, memberikan kesan bahwa “perempuan seharusnya begitu, agar mendapatkan applause dari masyarakat, agar mendapatkan predikat “perempuan baik-baik”, yang solehah, yang akan mendapakan kunci surga.
Kadang-kadang mbak Angel, sayangnya perempuan-perempuan yang memutuskan untuk TIDAK BERCERAI itu tidak semua sadar atas pilihannya itu. Indoktrinasi agama dan kultur yang mengatakan bahwa perempuan adalah warga kelas dua membuat banyak perempuan tidak sadar bahwa mereka punya hak untuk memilih jalan lain.
Seperti kisah dalam tabloid Cempaka yang juga kutulis sedikit tentang seorang Ibu yang bersikeras tidak menginginkan perceraian padahal anak-anaknya merasa begitu kasihan melihatnya menjadi bulan-bulanan kekerasan sang suami. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh sang Ibu adalah, “Anak yang keempat dan kelima belum menikah. Nanti kalau mereka menikah, mereka kan butuh wali? Butuh kehadiran ayahnya, sebagai wali nikah.” Ini jelas bahwa sang Ibu menjadi korban indoktrinasi agama, padahal dalam ajaran agama sendiri wali hakim boleh digunakan jika ada kasus-kasus tertentu. Namun mungkin dia tertutup cara berpikirnya.
Aku ingat salah satu adegan dalam film “Mona Lisa Smile” tatkala Betty Warren kembali ke rumah orang tuanya satu malam karena suaminya pergi keluar kota, dan sebelum itu mereka sempat bertengkar. Apa yang dikatakan oleh ibunya? “Tempat seorang perempuan adalah di rumah, di samping suaminya. Kamu tidak boleh di sini. Sana kamu pulang.” Bahkan saat ketahuan bahwa sang suami selingkuh, ibu si Betty masih mengatakan hal yang sama. Setting time film di tahun 1950-an menunjukkan masih kentalnya kebijakan “The Cult of True Womanhood” yang sangat menonjol di Amerika setelah pertengahan abad ke-19 dalam kehidupan di banyak keluarga Amerika.
Kisah ini mungkin hanya fiksi. Namun masalah ini sangat banyak terjadi di Indonesia ini. (Prof. Kenneth Hall salah satu dosen tamu waktu aku kuliah dulu mengatakan bahwa kultur di Indonesia ini ketinggalan 50 tahun dari Amerika.) Seorang perempuan yang memilih untuk tidak bercerai tidak selalu karena mereka telah memikirkannya secara matang-matang, dengan segala resikonya, namun bisa jadi karena mereka dididik untuk menjadi seperti itu, lupa bahwa mereka pun berhak untuk berbahagia dengan cara mereka sendiri.
Mengacu ke kisah pendek dalam tabloid Cempaka, apakah si Ibu dari anak lima ini berbahagia dengan pilihannya untuk tetap tidak menceraikan suaminya? Dari apa yang ditulis oleh salah satu anaknya dalam kisah itu, orang bisa menyimpulkan bahwa si Ibu ini tidak bahagia, karena kondisi fisiknya yang melemah, sinar mata yang kuyu, namun dia “dikalahkan” oleh kultur yang telah mendoktrinnya untuk tetap berada di samping suaminya (karena sang suami mengancam ini itu jika si Ibu ini menceraikannya, atau bahkan hanya meninggalkannya sehingga status pernikahan mereka “menggantung”, si Ibu tidak berani).

Angel:
Jika ada seorang wanita bersuami dan dianiaya dengan berbagai cara oleh sang suaminya, sedangkan si istri berusaha menanggulangi ketimpangan "human right tersebut tanpa mendapatkan jalan keluar, disanalah si ibu memerlukan bantuan untuk memperjuangkan hak2nya sebagai "MANUSIA" yang tidak pantas di aniaya oleh siapapun.

Nana:
Untuk inilah memang UU PKDRT no 23 tahun 2004 dikeluarkan.

Angel:
Tetapi jika kita lihat secara detail, penganiayaan apa yang diterima oleh si wanita tersebut? Jika physic, memang itu tidak boleh di tolerer oleh siapapun. Tetapi jika si suami marah2 terus karena si istri tidak mau menyediakan makanan di rumah, tidak mau mencuci pakaian, tidak mau beririt2 uang belanja, dan tidak becus mengurus anak, padahal si istri tidak mau bekerja membantu suami mencari nafkah... ya wajar saja jika si suami yang pontang panting mencari nafkah suka marah.

Nana:
Dalam UU PKDRT disebutkan bahwa ada empat macam kekerasan, selain kekerasan fisik, ada juga kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Waktu aku kuliah dulu, aku punya seorang teman yang suaminya sering melakukan kekerasan psikis dengan mengacu ke bentuk tubuhnya yang melar setelah melahirkan. Dia sering mengatai temanku (yang kebetulan berdarah Bali), “Kamu tuh malu-maluin aja. Jaga tubuhmu dong!” Karena pernyataan yang tidak selayaknya keluar dari seseorang yang berpendidikan ini berulang kali, hal tersebut akan bisa menyebabkan temanku kehilangan harga dan kepercayaan dirinya, hal ini sudah bisa dikategorikan sebagai kekerasan psikis. Jika yang terjadi adalah kekerasan fisik, membuktikannya akan sangat mudah dengan visum et repertum. Kalau kekerasan psikis yang terjadi secara berulang-ulang, selama bertahun-tahun, bagaimana cara membuktikannya?
Kembali ke komentar mbak Angel di atas. Jika memang si istri yang tidak becus melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, dll, dia bisa dikenai tuduhan penelantaran rumah tangga.

Angel:
Jangan lupa, banyak juga pria merasa teraniaya karena harus menjadi sapi perahan pontang panting mencari nafkah, tetapi si istri hanya enak2 saja di rumah, menghamburkan uang, bahkan kurang menghargai usaha si suami untuk mendapatkan nafkah yang cukup untuk menghidupi keluarganya.

Nana:
Jangan lupa dalam kasus KDRT yang telah dilaporkan, jumlah perempuan sebagai korban kekerasan mendekati 100%, sehingga jumlah laki-laki yang seperti mbak Angel sebutkan di sini jumlahnya tidak sepadan dengan kekerasan yang terjadi kepada kaum perempuan. Kalau tidak terima, bisa juga kasus seperti ini dilaporkan bahwa si istri telah melakukan penelantaran rumah tangga.
Masalahnya adalah, dalam UU Perkawinan tahun 1974 dijelaskan bahwa tugas suami adalah sebagai ‘breadwinner’ sedangkan istri adalah sebagai “ibu rumah tangga”. Si istri yang ‘nampak’ enak-enak saja tinggal di rumah ini sedang melakukan perannya sebagai “ibu rumah tangga” loh. Jangan lupa itu.
Well, berdasarkan dengan diskusi yang pernah kulakukan dengan teman kuliahku yang berdarah Bali, aku sedikit tahu bahwa perempuan Bali itu pekerja keras, yang tidak bisa hanya diam saja berpangku tangan tinggal di rumah. (Waktu itu kita membahas novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini, yang dibandingkan dengan satu novel tulisan orang Mexico, aku lupa judulnya dan nama penulisnya.) Namun di kultur di beberapa daerah lain di Indonesia berbeda mbak.

Angel:
Memang banyak suami yang sewenang2 terhadap si istri di rumah bahkan sampai mengarah kepada kekerasan di rumah tangga terhadap si istri dan anak2nya. Jangan lupa, banyak juga terjadi bahwa dengan cara lain, si istrilah yang bertindak sewenang2 terhadap si suami.

Nana:
Kita harus mencari tahu penyebab mengapa si istri bertindak sedemikian rupa. Beberapa tahun lalu ada seorang teman laki-laki mengeluh kepadaku tentang istrinya yang mata duitan (katanya). Dia akan disambut dengan hangat oleh istrinya jika saat pulang bekerja dia membawa sejumlah uang. Jika tidak, ya tidaklah. “Dia hanya mencintai uangku namun tidak mencintaiku,” keluhnya.
Sayangnya dalam kultur yang menentukan “peran suami adalah pencari nafkah dan peran istri adalah ibu rumah tangga” mendukung para perempuan untuk melakukan hal tersebut. Jika tidak, si suami telah menyalahi peran yang dibebankan kepadanya oleh UU Perkawinan tahun 1974. Selain itu, bisa jadi cara ‘mendidik’ kepada anak gadis, misal, “Pilihlah suami yang kaya...” telah menciptakan perempuan-perempuan seperti di atas.
Kasus lain dari salah satu rekan kerjaku. Sebelum menikah, memang sudah diketahui bahwa si laki-laki berada satu level di bawah temanku, dari latar belakang keluarga, pendidikan (temanku lulusan S1, suaminya SMA), sampai dalam hal income. Rekan kerjaku yang lumayan ‘melek’ masalah kesetaraan gender ini inginnya memberlakukan hal tersebut dalam relasinya dengan sang suami. Dan mungkin karena merasa dia lebih berpendidikan, dia mengaku kepadaku bahwa dia sering ‘mengajari’ tentang hak-hak suami istri. Misal: kalau di mata temanku suaminya melakukan kesalahan, dia akan menegurnya tanpa sungkan-sungkan. Tatkala temanku lelah pulang kerja, dia ingin istirahat, dia meminta sang suami mengurusi kedua anak mereka. Ternyata, di mata keluarga—baik dalam keluarga temanku itu maupun keluarga suami—temanku ini dianggap keterlaluan, tidak menghormati suami. Seorang istri harusnya mendengarkan apapun yang dikatakan oleh sang suami dan tunduk, kata keluarga. Apalagi adik laki-laki teman kerjaku ini yang bekerja sebagai muballigh (alias tukang ceramah agama) justru mengatakan hal yang menyakitkan telinga, “Mbak, kamu tuh harusnya merasa beruntung dia mau menikahimu. Kalau tidak, kamu akan tetap menjadi perawan tua.” (FYI, she got married when she was 35 years old.) Apa boleh buat? Si adik ini pun merupakan “korban doktrin agama” yang dia terima mentah-mentah begitu saja.
Di mata orang awam di Indonesia, bisa jadi temanku ini dianggap telah bertindak sewenang-wenang kepada suaminya.

Angel:
Bukannya saya tidka mau membela kaum saya sendiri yaitu kaum wanita tetapi say amelihat banyak ketimpangan di dalam hal perjuangan wanita itu sendiri. Contohnya, kita wanita ingin memperjuangkan hak2 kita dalam persamaan hak dibidang pekerjaan... di kantor, kita wanita ingin mempunyai hak yang sama dengan pria, dimana juga mendapatkan kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan yang sama dengan pria. Tetapi saya sering melihat, si wanita sering berdalih untuk menghindari pekerjaan di kantor yang menurut si wanita tersebut susah dikerjakan oleh wanita. Tidak mau mengangkat barang2 berat, menghindari pekerjaan physic yang berat sna selalu melimpahkannya kepada si pria. Bahkan jika duduk di kursi, selalu berkumpul bersama2 wanita agar bisa bergosip lebih nyaman, bahkan jika duduk di mobil, maunya duduk di tempat yang paling nyaman, bahkan jika di bus kantor, maunya ingin diberi tempat duduk
terdahulu, baru sisanya untuk si pria. Dalam hal semacam ini bagaimana bisa para pria disekitar wanita tersebut dapat memberikan hak2 persamaan kepada si wanita?

Nana:
Aku punya seorang teman laki-laki yang bekerja di pertambangan. Satu tahun yang lalu dia bercerita mempunyai bawahan seorang perempuan. Dia mengeluh, “Kalau perempuan mana aku tega memberinya tugas berat, misal, melakukan drilling di tengah hutan? Terpaksa aku melakukannya sendiri, atau menyuruh bawahan yang laki-laki.” Aku bilang ke dia, si perempuan itu seharusnya sudah tahu hak dan kewajibannya tatkala dia memilih bekerja di pertambangan. “Aku pikir kamu tidak perlu memberi dia privilege. Biar saja dia melakukan apa yang memang menjadi kewajibannya.” Ketika dia bilang, “Lah, aku ya ga tega,” aku jawab, “Salahmu sendiri tidak tega.”
Sebenarnya yang dimaksudkan dalam perjuangan kesetaraan gender—yang selama ini kuketahui—adalah pemberian hal-hal yang memang seharusnya perempuan pun berhak, dan janganlah dia dikurangi ataupun dihentikan haknya hanya karena dia perempuan. Akibatnya? Ya tentu perempuan harus menanggungnya. Misal: dalam bidang pendidikan. Masih banyak keluarga di sekitarku sini yang berpikir bahwa pendidikan untuk perempuan tidak begitu penting (hare gene??? Kata para muda. LOL) dibandingkan untuk laki-laki karena toh nantinya perempuan, setelah menikah, akan menjadi “Ibu rumah tangga” sedangkan laki-laki yang akan menjadi “pencari nafkah”. Padahal harusnya kan baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak untuk mendapatkan pendidikan? Jika para perempuan tersebut hanya dididik dan dipersiapkan menjadi ibu rumah tangga saja, kemudian ternyata si laki-laki bukan tipe yang bertanggung jawab, dan menelantarkannya begitu saja, gigit jarilah si perempuan.
Akibat apakah yang harus diterima oleh perempuan tatkala dia mengejar pendidikan? Dia harus belajar keras, tentu. (Dan tidak seperti yang ada dalam gambaran film “Mona Lisa Smile” bahwa para perempuan melanjutkan sekolah HANYA untuk menunggu sampai seorang pangeran datang untuk meminangnya, dan bukan untuk membekali diri untuk masa depannya.) Setelah mendapatkan pendidikan, then what? Bekerja dong. Aplikasikan ilmu untuk kemaslahatan bersama.
Aku juga tidak setuju dengan para perempuan yang cuma bisa bergosip ria. Bukan itu cara kita menunjukkan bahwa kita setara dengan laki-laki. Untuk waktu naik bus, aku pun tipe orang yang tidak keberatan jika memang tidak mendapatkan tempat duduk, dan harus berdiri. Namun khusus untuk para perempuan hamil, harus ada privilege, menurutku. Aku sudah kenyang melihat situasi dalam bus ekonomi yang berdesak-desakan, dari Jogja ke Semarang, maupun dari Semarang ke Jogja, banyak perempuan yang berdiri tegar—aku pernah menjadi salah satunya, berdiri full 3 jam—dan banyak laki-laki yang terkantuk-kantuk di kursinya. Para perempuan dari kalangan bawah begini ini menurutku justru lebih tegar. Apakah aku merasa maskulin tatkala berdiri selama 3 jam dalam bus? Iya. LOL.(Dalam tulisanku yang berjudul “Maskulinitas dan Femininitas” aku telah menulis bagaimana aku ‘membentuk’ kemaskulinanku, meskipun tetap juga ada sisi femininitas yang sangat kuat dalam diriku.)

Angel:
Wanita di dalam hubungannya dengan pasangan hidup pria memang agak berbeda hubungannya sebagai pencari nafkah. Jika si wanita adalah pencari nafkah dan sang suami hanya di rumah, sepantasnyalah sang istri tidka sempat membersihkan rumah atau mengasuh anak tetapi bukan berarti si istri melanggar hak2 si pria. Tetapi dalam hubungan emosianal tetaplah berlaku hukum wanita dan pria, diamana si pria mungkin
lebih logic cara berpikirnya dan memberikan solusi2 yang logic bagi persoalan2 di rumah.

Nana:
Waduh mbak, ga ada loh ‘hukum wanita dan pria’. Aku pernah sempat ‘gontok-gontokan’ dengan Bang Audy mengenai who is (more) logical between men and women. Yang ada (kesimpulan diskusi kita) adalah laki-laki maupun perempuan bisa sama-sama berpikir secara logis. Hal ini tergantung dari seberapa sering kita melatih diri untuk selalu berpikir secara logis. :)


Angel:
Sering kita mendengungkan kesetaraan gender. Harusnya kita bertanya kepada diri sendiri, kesetaraan apa yang kita inginkan? Tidak mungkin kita wanita bisa sama persis dengan pria, sebaliknya pria juga tidak akan mungkin bisa persis sama dengan wanita. Kita wanita tidak mungkin bisa menyamakan gender kita satu sama lain, melainkan kita bisa menyetarakan hak2 kita, sebagai sesama manusia. Mungkin maksud kita para wanita adalah mendapatkan hak kita mencapai sesuatu yang kita inginkan, seperti apa yang kita pikir dimiliki oleh pria yaitu tidak pantas dianiaya oleh siapapun, mendapat kesempatan
memilih sesuatu sesuai dengan kebaikan diri kita sendiri demi mencapai kehidupan layak yang sama dengan siapapun, baik pria maupun wanita manapun. Itulah yang kita perjuangkan, bukan hanya memperjuangkannya sebagai wanita melawan pria yang zalim, tetapi juga sebaliknya sebagai pria melawan wanita yang zalim, tentunya kita perjuangkan sebagai manusia sesama manusia dengan segala perbedaanya.

Nana:
Agree. Yang dimaksudkan dalam kesetaraan gender ya bahwa perempuan juga manusia, yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bukan sebagai the second sex. Kebetulan aku telah menuliskannya di atas.

Bagi para miliser, wah ... panjang banget nih tulisanku kali ini. yang bosen boleh ditinggalin aja diskusi ini.  Bagi Abangku seorang, GA BOLEH DILEWATKAN TULISANKU INI. OK? Huehehehe ... maksain nih. LOL.

No comments: